Setelah saya menulis tentang bahayanya seorang Zakir Naik, banyak orang merasa terpukul. Zakir Naik bagi mereka adalah pembela Islam. Banyak yang masuk Islam karena jasanya. Padahal acara “teater” semacam itu rawan sekali direkayasa. Semua itu jelas by design. Namun mereka tak mungkin percaya hal ini. Yang aneh, ketika melihat acara penyembuhan massal umat Kristiani dengan doa misalnya, orang-orang itu juga akan menganggap semua sudah disetting. Sulitkah menerapkan dugaan yang sama pada Zakir Naik?
Mereka sulit menerima kebenaran bahwa Zakir Naik terindikasi Wahabi, bahwa Zakir Naik tidak memiliki sanad keilmuan. Ia memang belajar agama, tapi langsung dari buku. Ia suka mencela agama lain dan mengobarkan permusuhan lintas agama.
loading...
Para pembelanya menyebut, gurunya Zakir Naik adalah Ahmad Deedat, seorang tokoh islam dari Afrika Selatan. Padahal, meski kelahiran India, Ahmad Deedat menghabiskan hampir seluruh hidupnya di Afrika sampai meninggal. Satu-satunya kesempatan Zakir Naik bertemu dengan Deedat adalah ketika ia sakit. Itupun saat Zakir Naik sudah didaulat oleh khalayak sebagai ulama, ahli debat. Bukan sebagai murid yang sedang berguru.
Saya mengerti, orang-orang mungkin akan mengaitkan dengan karomah, keajaiban, ilmu laduni, karena Zakir dan Deedat bisa saling transfer ilmu tanpa bertemu. Hanya beberapa kali teleconference dan memberikan nasehat. Fanatisme buta memang berbahaya. Sulit sekali menerima kebenaran dari arah sebaliknya. Seperti melihat matahari yang terang benderang setelah tersekap kegelapan dalam waktu sangat lama.
Lihat Videonya
Zakir Naik, sesuai pernyataannya sendiri, mengindikasikan bahwa dia panganut Wahabi. Dia juga tak mau membantahnya. Dalam imajinasinya, Islam adalah satu. Padahal antara Sunni dan Syiah saja sulit disatukan. Belum lagi Wahabi, Ahmadiah, atau sekte Lia Eden. Ilusi semacam itu juga diyakini oleh para teroris dan pengusung khilafah. Saya menganggap Zakir Naik terpengaruh ilusi demikian, mungkin karena dia tak paham agama saja.
Untuk membuktikan seseorang wahabi atau bukan, tentu melalui pernyataannya langsung, bahwa yang bersangkutan pengikut Wahabi. Atau secara tak langsung melalui propaganda wahabisme yang dipraktikkan. Bisa dalam bentuk taklid pada fatwa tokoh Wahabi seperti Utsaimin dan bin Baz. Tentunya jenis fatwa atau keyakinan yang bertentangan dengan ahlu sunah.
loading...
Bisa juga dengan kebiasaan meyakini ilusi khas Wahabi, di antaranya, “Kembali pada Quran dan Hadits.” Slogan ini sebenarnya sesat pikir. Hanya para Sahabat Nabi yang bisa melakukan hal itu karena mereka sejaman dengan Nabi.
Kenapa kembali pada Quran dan Hadits itu mustahil? Karena untuk hal prinsipil seperti rukun islam saja tidak diterangkan dengan jelas di Quran. Apa yang dimuat dalam Quran hanyalah pokok bahasan saja. Coba cari dalil tata cara solat lengkap di Quran. Seribu tahunpun kalian cari tidak akan ketemu. Begitu juga dengan amal ibadah yang lain. Kembali secara langsung kepada Quran adalah siasat Salafi-Wahabi untuk menjauhkan umat dari ulama.
Padahal umat tidak paham Quran dan Hadits. Membaca terjemahan saja bingung. Kembali pada Quran secara langsung justru akan menyesatkan, terutama orang awam. Karena bahasa Quran terlalu padat dan rumit. Quran juga mengalami proses nasakh dan mansukh, satu ayat (atau hukumnya saja) dihapuskan dan diganti.
Kembali pada Hadits secara langsung juga sesat pikir. Ulama mujtahid mutlak, atau imam mazhab itu tidak menggunakan kumpulan Hadits Bukhari, Muslim dan yang lain. Kenapa begitu? Karena mereka hidup lebih dulu dari para imam hadits. Mereka juga adalah ahli hadits di jamannya. Syarat menjadi mujtahid mutlak itu salah satunya harus hafal dan paham ribuan hadits sahih. Mereka merumuskan hukum fiqih sesuai Hadits yang mereka terima dan tak mungkin bertentangan dengannya.
Kembali pada Hadits secara langsung adalah idiokrasi. Orang justru akan tersesat pada labirin karena tak memahami keilmuannya. Hadits harus dipelajari secara langsung pada ulama ahli hadits. Bukan melalui buku, apalagi potongan terjemahan.
Maka yang paling mungkin dilakukan oleh umat, terutama yang awam adalah kembali pada ULAMA yang paham Quran dan Hadits. Mereka yang mengerti riwayat keilmuannya dengan lengkap. Sanad keilmuan mereka bersambung pada Sahabat, selanjutnya pada Rasul sendiri. Kembali pada Quran dan Hadits secara mandiri tanpa bantuan ulama yang kompeten hanya akan menjerumuskan pada kesesatan.
Jadi pemurnian ala Wahabi itu sesat pikir. Kembali pada Quran dan Hadits dengan menjauhi mujtahid mutlak dan ulama kompeten sesudahnya adalah propaganda Wahabi. Itu jelas sesat dan menyesatkan.
Nah, Zakir Naik ini adalah penganut paham, kembali pada Quran dan Hadits. Ia juga menolak tradisi ahlu sunah seperti Maulid. Suka membidahkan dan mengkafirkan. Zakir Naik juga menolak imam mazhab. Bahkan menganggap mereka tak paham agama karena hidup di jaman kuno. Zakir naik juga penganut paham mujassimah khas Wahabi, menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Punya tangan, mata, wajah, dsb. Ia juga meyakini hanya ada satu Islam. Padahal kita tahu, Sunni dan Syiah saja tak mungkin disatukan.
Ente baru disebut Syiah saja ngamuk. Begitu sok-sokan mau menyatukan semua perbedaan dalam Islam?
loading...
Begitu pulalah ilusi Zakir Naik. Kenapa dia begitu? Karena dia ingin meraih simpati massa. Terutama dari kalangan Ahlu Sunah Waljamaah (Aswaja). Persis seperti propaganda Wahabi, teroris, dan pengusung khilafah. Zakir ingin dikenal sebagai pembela Islam. Padahal ia hanya pencela agama lain dengan kedok Islam. Kelasnya seperti Robert Spencer, pencela agama Islam dari kalangan Kristen.
Jadi, kalau kalian membela Zakir Naik karena mencela agama lain dengan kedok Islam, mestinya kalian tak keberatan dengan pencela seperti Robert Spencer. Pencela dari kalangan Kristen. Atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat. Bisa kalian terima, Robert Spencer yang menistakan Islam ini? Kalau tidak bisa, berarti kalian hanya pemuja fanatik Zakir Naik dan mengingkari kebenaran secara umum.
Orang seperti Zakir Naik dan Robert Spencer harus dijauhkan dari agama. Mereka ini berbahaya bagi kedamaian dunia. Dialog agama boleh saja. Kajian perbandingan agama oke. Namun tujuannya untuk mencari persamaan, bukan untuk memperuncing perbedaan. Kebenaran dalam agama harus disampaikan dengan cara baik dan bijaksana, bukan dengan mencela dan mengolok-olok agama orang lain. Itu tindakan bar-bar, bukan ajaran Islam.
Zakir Naik, Rizieq Shihab, atau siapapun yang merasa jagoan dalam berdebat, mestinya ingat Surat An-nahl ayat 125 berikut ini. Islam tidak mengajarkan orang untuk menantang-nantang dan mencela agama lain. Islam itu rahmatan lil’alamin, mengajarkan kasih sayang pada seru sekalian alam, bukan kesombongan dan permusuhan.
“Ud’u ila sabili robbika bil hikmati wal mau’idhotil hasanati wa jadilhum
bil lati hiya ahsan, inna robbaka huwa a’lamu bi man dholla ‘an sabilihi wa huwa a’lamu bil muhtadin.” (Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik, dan bantahlah (debatlah) mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa saja yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.)
1 Komentar
Lenyapkan TNI dan POLRI dulu!
BalasHapus